Minggu, 17 Juli 2016

Pemeriksaan Widal



PEMERIKSAAN I
       I.            Hari / Tanggal             :  Senin, 11 April 2016
    II.            Judul                           :  Pemeriksaan Widal
 III.            Tujuan                         :  Untuk mengetahuiadanya antibody spesifik dengan
                                       bakteri salmonella dan membantu diagnosis demam
typoid
 IV.            Metode                        :  Slide
    V.            Prinsip                         :   Adanya antibody salmonella pada sampel  serum
akan bereaksi dengan antigen yang terdapat pada reagen widal sehingga menyebabkan reaksi aglutinasi
 VI.            Landasan teori
Diagnosis demam tifoid sering ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis dan tes serologis saja. Uji Widal merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini masih digunakan secara luas, khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia. Widal adalah uji diagnosis serologi untuk demam enterik yang ditemukan pada tahun 1896 oleh Georges Fernand Isidore Widal. Reaksi aglutinasi ini menunjukkan adanya lipopolisakarida (LPS),somatik (O) dan flagella (H) dari Salmonella thypii dalam serum dari pasien yang menggunakan suspensi O dan H antigen. Kit komersil yang tersedia adalah untuk antigen Salmonella thypii para-A, B dan C. Salah satu kelemahan utama dari uji widal adalah reaktivitas silang karena yang beberapa bakteri lain yang  memiliki genus sama sering menghasilkan hasil positif palsu, sehingga hasil  positif harus berkorelasi secara klinis sebelum meresepkan obat.Jadi, tes widal adalah pilihan untuk demam tifoid terutama di daerah pedesaan (Aziz dan Haque, 2012).
Uji Widal ada dua macam yaitu uji Widal tabung yang membutuhkan waktu inkubasi semalam dan uji Widal peluncuran yang hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit saja. Umumnya sekarang lebih banyak digunakan uji Widal cara meluncurkan, karena merupakan uji serologis yang cepat dan mudah dalam melaksanakannya. Sensitivitas dan terutama spesifisitas tes ini amat dipengaruhi oleh jenis antigen yang digunakan. Menurut beberapa peneliti uji Widal yang menggunakan antigen yang dibuat dari jenis strain kuman asal daerah endemis (lokal) memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang secara bermakna lebih tinggi daripada bila dipakai antigen yang berasal dari strain kuman asal luar daerah endemis (impor) (Baron et al.,1994). Uji Widal sampai sekarang masih digunakan secara luas terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Walaupun mempunyai banyak keterbatasan dan penafsiran uji Widal, untuk menegakkan diagnosis demam tifoid harus hati-hati karena beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaannya. Yaitu antara lain keadaan gizi, saat pemeriksaan, pengobatan antibiotica yang mendahuluinya, daerah endemis, status imunologis, vaksinasi, penggunaan obat imunosupresif, reaksi silang serta teknik pemeriksaan (Pang et al.,1997).
Kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam tifoid masih kontroversial di antara para ahli karena hasil yang berbeda-beda. Uji Widal bernilai diagnosis yang tinggi untuk demam tifoid (94,3%), asalkan dapat diketahui titer antibodi di orang normal dan penderita demam nontifoid. Pang dan Puthucheary mengatakan bahwa uji Widal masih merupakan pilihan cara yang praktis sehubungan kesulitan dalam memeriksa bakteri di negara berkembang (Pang et al.,1997). Hampir semua ahli sepakat bahwa kenaikan titer aglutinin 4 kali terutama aglutinin O atau aglutinin H dalam jangka waktu 5–7 hari bernilai diagnostik amat penting untuk demam tifoid. Sebaliknya peningkatan titer aglutinin yang tinggi pada satu kali pemeriksaan Widal terutama aglutinin H tidak memiliki arti diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Namun demikian, masih dapat membantu menegakkan diagnosis demam tifoid di penderita dewasa yang berasal dari daerah nonendemik atau anak umur kurang dari 10 tahun dari daerah endemik. Sebab di kelompok penderita ini kemungkinan terkena S.typhi dalam dosis subterinfeksi masih amat kecil. Di orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di daerah endemik kemungkinan untuk menelan S. typhi dalam dosis subterinfeksi lebih besar, sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemik yang satu dengan yang lainnya. Bergantung dari derajat endemisnya dan juga perbedaan keadaan antara anak di bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Uji Widal masih diperlukan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, ambang atas titer rujukannya baik anak maupun orang dewasa perlu ditentukan. Besar titer antibodi yang bermakna untuk diagnosis demam tifoid di lndonesia belum terdapat kesesuaian. Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam tifoid bergantung prosedur yang digunakan di masing-masing rumah sakit atau laboratorium. Uji  Widal dianggap positif bila titer antibodi 1/160, baik untuk aglutinin O maupun H dengan kriteria diagnostik tunggal atau gabungan. Bila dipakai kriteria tunggal maka aglutinin O lebih bernilai diagnostik daripada aglutinin H (Handojo, I, 1982).
Antibodi (immunoglobulin) adalah sekelompok lipoprotein dalam serum darah dan cairan jaringan pada mamalia. Antibodi memiliki lebih dari satu tempat pengkombinasian antigen. Kebanyakan antibodi makhluk hidup mempunyai 2 tempat pengkombinasian yang disebut bivalen. Beberapa antibodi bivalen dapat membenuk beraneka antibodi yang mempunyai lebih dari 10 tempat pengkombinasian antigen (Volk Wheeler, 1984).
Antigen adalah bahan yang asing untuk badan, terdapat dalam manusia atau organisme multiseluler lain yang dapat menimbulkan pembentukan antibodi terhadapnya dan dengan antibodi itu antigen dapat bereaksi dengan khas. Sifat antigenik dapat ditentukan oleh berat molekulnya. Salmonella dan jenis-jenis lainnya dalam familyEnterobacteriaceae mempunyai beberapa jenis antigen, yaitu antigen O (somatik), H (Flagella), K (Kapsul) dan Vi (Virulen) (Volk Wheeler, 1984).
1.      Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer (Baronet al.,1994).
2.      Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam (Baron et al.,1994).
3.       Antigen Vi
   Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier (Baron et al.,1994).
4.      Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa (Baron et al.,1994).
Reaksi widal adalah reaksi serum (sero-test) untuk mengetahui ada tidaknya antibodi terhadap Salmonella thypii dengan jalan mereaksikan serum seseorang dengan antigen O, H, dan Vi dari laboratorium. Bila terjadi aglutinasi, maka reaksi widal positif, berarti serum orang tersebut mempunyai antibodi terhadap Salmonella thypii, baik setelah vaksinasi, setelah sembuh dari penyakit tipus ataupun sedang menderita tipus. Reaksi widal negatif artinya tidak memiliki antibodi terhadap Salmonella thypii (tidak terjadi aglutinasi). Berdasarkan hasil pengamatan pada pengenceran 1 : 160 tidak terjadi aglutinasi berarti penderita tidak memiliki antibodi terhadap Salmonella thypii(hasilnya negatif). Jika hasilnya positif terjadi adanya endapan pasir, sedangkan jika hasilnya negatif maka tetap jernih. Adanya aglutinasi menandakan bahwa penderita positif terinfeksi Salmonella thypii yang dapat dilihat Pada serum 20 μl, titer Ab + 1/80 = infeksi ringan (Volk and Wheeler, 1984).


VII.            Metode Kerja
A.    Pra Analitik
1.      Persiapan pasien : Tidak ada persiapan khusus
2.      Persiapan sampel : Tidak ada persiapan khusus
3.      Alat dan Bahan
a.       Alat yang digunakan
1)      Mikropipet
2)      Miskroskop
3)      Obyek gelas
4)      Rak tabung
5)      Sentrifuge
6)      Tabung EDTA
b.      Bahan yang digunakan
1)      Alcohol 70%
2)      Darah
3)      Kapas
4)      Reagen tidal / widal
5)      Spoit


B.     Analitik
1.      Prosedur kerja
a.       Disiapkan alat dan bahan
b.      Dilakukan plebotomi
c.       Disentrifuse darahnya
d.      Diteteskan antigen O pada ujung kiri obyek gelas dan antigen H pda ujung kanan obyek gelas sebanyak 40m
e.       Ditetekan 20m serum berdampingan dengan antigen O dan H
f.       Dicampurkan antigen dan serum
g.      Dilihat terbentuknya aglutinasi
h.      Diperiksa dibawah miskroskop dengan perbesaran 40x – 10x

C.     Pasca Analitik
1.      Data pasien
Nama               : Liliyanti
Alamat            : Jl. Rambutan
Umur               : 20 tahun
Jenis kelamin   : Perempuan
Hasil                : (-) Negatif

2.      Interpretasi hasil
No
Type Antigen Salmonella
Aglutinasi
1)
Antigen H
Tidak terjadi aglutinasi (-)
2
Antigen O
Tidak terjadi aglutnasi (-)


VIII.            Kesimpulan
      Dari hasil pemeriksaan widal pada saudari liliyanti tidak ditemukan aglutinasi. Dalam hal ini dapa dinyatakan bahwa saudari liliyanti tidak terinfeksi bakteri salmonella typi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar