KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan
petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya untuk memenuhi tugas mata kuliah AMAMI (T).
Tujuan
pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah “ AMAMI (T) ” tetapi juga
diharapkan mampu memberikan ilmu pengetahuan mengenai tentang pengaruh suhu terhadap pertumbuhan bakteri.
Serta tak lupa penulis mengucapkan banyak teri ma kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun, penulis harapkan untuk perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnyabagi penulis dan
umumnya bagi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Kendari, April 2016
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
A. AIR DALAM BAHAN PANGAN
B. KADAR AIR DALAM BAHAN PANGAN
C. PENENTUAN KADAR AIR DALAM BAHAN
PANGAN
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Kadar air dalam bahan makanan sangat
mempengaruhi kualitas dan daya simpan dari pangan tersebut. Oleh karena itu,
penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat penting agar dalam proses
pengolahan maupun pendistribusian mendapat penanganan yang tepat. Penentuan
kadar air dalam makanan dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu metode
pengeringan (dengan oven biasa), metode destilasi, metode kimia, metode khusus
(Anonim,2003).
Kriteria ikatan air dalam aspek daya awet bahan pangan dapat ditinjau dari
kadar air, konsentrasi larutan, tekanan osmotik, kelembaban relatif berimbang
dan aktivitas air. Kandungan air dalam bahan pangan akan berubah-ubah sesuai
dengan lingkungannya, dan hal ini sangat erat hubungannya dengan daya awet
bahan pangan tersebut. Hal ini merupakan pertimbangan utama dalam pengolahan
dan pengelolaan pasca olah bahan pangan (Purnomo,1995). Selain air, bahan
pangan juga mengandung zat-zat lain yang bermanfaat bagi kesehatan atau biasa
disebut dengan zat-zat gizi. Zat gizi tersebut telah dibuktikan bermanfaat
dalam menjaga atau mengobati satu atau lebih penyakit atau meningkatkan
performa fisiologisnya (Winarno 1990).
Kandungan air dari suatu bahan pangan perlu diketahui terutama untuk
menentukan persentase zat-zat gizi secara keseluruhan. Jumlah kadar air yang
terdapat di dalam suatu bahan pagan sangat berpengaruh atas seluruh susunan
persentase zat-zat gizi secara keseluruhan. Dengan diketahuinya kandungan air
dari suatu bahan pangan, maka dapat diketah2ui berat kering dari bahan tersebut
yang biasanya konstan.
Penentuan kadar air suatu bahan pangan bergantung pada sifat bahan pangan
itu sendiri. Penentuan ini terkadang tidak mudah dilakukan karena terdapat
bahan yang mudah menguap pada beberapa jenis bahan pangan, dan adanya air yang
terurai pada bahan pangan, serta oksidasi lemak pada bahan pangan tersebut.
Faktor lain yang mempengaruhi penentuan kadar air yang tepat yaitu air yang ada
dalam bahan pangan terikat secara fisik dan ada yang secara kimia.
C. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana peranan air dalam bahan pangan
2. Bagaimana kadar air dalam bahan pangan
3. Bagaimana penentuan kadar air dalam
bahan pangan
B. Tujuan
Masalah
1. Untuk mengetahui peranan air dalam
bahan pangan;
2. Untuk mengetahui kadar air dalam bahan
pangan;
3. Untuk mengetahui penentuan kadar air
dalam bahan pangan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Air Dalam Bahan Pangan
Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan
tidak berbau pada kondisi standar, yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) dan
temperature 273,15 K (0ºC). Air merupaka pelarut yang kuat, melarutkan banyak
zat kimia. Zat-zat yang larut dengan baik dalam air (misalnya garam-garam)
disebut sebagai zat-zat “hidrofilik” (pencinta air), dan zat-zat yang tidak
mudah tecampur dengan air (misalnya lemak dan minyak), disebut sebagai zat-zat
“hidrofobik” (takut air) (Wulanriky, 2011).
Meskipun sering diabaikan, air merupakan salah satu
unsur penting dalam makanan. Air sendiri meskipun bukan merupakan sumber
nutrien seperti bahan makanan lain, namun sangat esensial dalam kelangsungan
proses biokimia organisme hidup. Salah satu pertimbangan penting dalam
penentuan lokasi pabrik pengolahan bahan makanan adalah adanya sumber air yang
secara kualitatif memenuhi syarat. Dalam pabrik pengolahan pangan, air
diperlukan untuk berbagai keperluan misalnya : pencucian, pengupasan umbi atau
buah, penentuan kualitas bahan (tenggelam atau mengambang), bahan baku proses,
medium pemanasan atau pendinginan, pembentukan uap, sterilisasi, melarutkan dan
mencuci bahan sisa (Sudarmadji,2003).
Air
dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen di samping
ikut sebagai bahan pereaksi, sedangkan bentuk air dapat ditemukan sebagai air
bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi
penguapan atau pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara
tersebut. Sebenarnya air dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut
sistem kapiler dan air terikat secara kimia, antara lain air kristal dan air
yang terikat dalam sistem dispersi (Purnomo,1995).
Air di dalam
bahan pangan ada dalam tiga bentuk, yaitu: (1) air bebas, (2) air terikat lemah
atau air teradsorbsi, dan (3) air terikat kuat. Pada umumnya air bentuk pertama
dan yang kedua dominan, sedangkan air terikat jumlahnya sangat kecil.
1). Air
Bebas
Air bebas ada didalam ruang antar
sel, intergranular, pori-pori bahan, atau bahkan pada permukaan bahan. Air
bebas sering disebut juga sebagai aktivitas air atau “water activity” yang
diberi notasi Aw. Disebut aktivitas air, karena air bebas mampu membantu
aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi pada bahan
pangan. Didalam air bebas terlarut beberapa nutrient yang dapat dimanfaatkan
oleh mikroba untuk tumbuh dan berkembang. Adanya nutrient terlarut tersebut
juga memungkinkan beberapa reaksi kimia dapat berlangsung. Oleh sebab itu,
bahan yang mempunyai kandungan atau nilai Aw tinggi pada umumnya cepat
mengalami kerusakan, baik akibat pertumbuhan mikroba pembusuk maupun akibat
terjadinya reaksi kimia tertentu, seperti oksidasi dan reaksi enzimatik. Air
bebas sangat mudah untuk dibekukan maupun diuapkan
2). Air Teradsorbsi.
Air yang terikat lemah atau air teradsorbsi terserap pada permukaan koloid
makromolekul (protein, pati, dll) bahan. Air teradsorbsi juga terdispersi diantara koloid tersebut dan
merupakan pelarut zat-zat yang ada dalam sel. Ikatan antara air dengan koloid merupakan
ikatan hidrogen. Air teradsorbsi relatif bebas bergerak dan relatif mudah
dibekukan ataupun diuapkan.
3). Air Terikat Kuat
Air terikat kuat sering juga disebut air hidrat, karena air tersebut
membentuk hidrat dengan beberapa molekul lain dengan ikatan bersifat ionik. Air
terikat kuat jumlahnya sangat kecil dan sangat sulit diuapkan dan dibekukan.
Air yang terdapat dalam bentuk bebas
dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan makanan misalnya proses
mikrobilogis, kimiawi, ensimatik, bahkan oleh aktivitas serangga perusak
(Sudarmadji,2003).
Jumlah air bebas dalam bahan pangan
yang dapat digunakan oleh mikroorganisme dinyatakan dalam besaran aktivitas air
(Aw = water activity). mikroorganisme memerlukan kecukupan air untuk
tumbuh dan berkembang biak. Seperti halnya pH, mikroba mempunyai niali Aw
minimum, maksimum dan optimum untuk tumbuh dan berkembang biak ( Ahmadi &
Estiasih,2009).
Sampai
sekarang belum diperoleh sebuah istilah yang tepat untuk air yang terdapat
dalam bahan makanan. Istilah yang umumnya dipakai hingga sekarang ini adalah “air
terikat” (bound water). Walaupun sebenarnya istilah ini kurang
tepat, karena keterikatan air dalam bahan berbeda-beda, bahkan ada yang tidak
terikat. Karena itu, istilah “air terikat” ini dianggap suatu sistem yang
mempunyai derajat keterikatan berbeda-beda dalam bahan (Winarno,1992).
Menurut derajat keterikatan air, air
terikat dapat dibagi atas empat tipe.
a. Tipe I
adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu ikatan
hidrogen yang berenergi besar. Air tipe ini tidak dapat membeku pada proses
pembekuan, tetapi sebagian air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan
biasa. Air tipe ini terikat kuat dan sering kali disebut air terikat dalam arti
sebenarnya.
b. Tipe II,
yaitu molekul-molekul air membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain,
terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda dengan air minum. Air ini
lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II akan mengakibatkan
penurunan Aw (water activity). Jika air tipe II dihilangkan seluruhnya,
kadar air bahan akan berkisar 3-7 % dan kestabilan optimum bahan makanan akan
tercapai, kecuali pada produk-produk yang dapat mengalami oksidasi akibat
adanya kandungan lemak tidak jenuh.
c. Tipe III
adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti
membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah yang sering kali
disebut dengan air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan
untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Apabila air
tipe ini diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12-25 %
dengan Aw (water activity) kira-kira 0,8% tergantung dari jenis bahan dan
suhu.
d. Tipe IV
adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni dengan
sifat-sifat air biasa dan keaktifan penuh (Winarno,1992).
B. Kadar Air
dalam Bahan Makanan
Kadar air adalah perbedaan antara
berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan. Setiap bahan bila
diletakkan dalam udara terbuka kadar airnya akan mencapai keseimbangan dengan
kelembaban udara disekitarnya. Kadar air ini disebut dengan kadar air seimbang.
Setiap kelembaban relatif tertentu dapat menghasilkan kadar air seimbang
tertentu pula. Dengan demikian dapat dibuat hubungan antara kadar air seimbang
dengan kelembaban relatif.
Aktivitas air dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
Aw = ERH/100
Aw = aktivitas air
ERH = kelembaban relative seimbang
Bila diketahui kurva hubungan antara
kadar air seimbang dengan kelembaban relatif pada hakikatnya dapat
menggambarkan pula hubungan antara kadar air dan aktivitas air. Kurva sering
disebut kurva Isoterm Sorpsi Lembab (ISL). Setiap bahan mempunyai ISL yang
berbeda dengan bahan lainnya. Pada kurva tersebut dapat diketahui bahwa kadar
air yang sama belum tentu memberikan Aw yang sama tergantung macam bahannya.
Pada kadar air yang tinggi belum tentu memberikan Aw yang tinggi bila bahannya
berbeda. Hal ini dikarenakan mungkin bahan yang satu disusun oleh bahan yang
dapat mengikat air sehingga air bebas relatif menjadi lebih kecil dan akibatnya
bahan jenis ini mempunyai Aw yang rendah (Wulanriky,2011).
Nilai Aw suatu bahan atau produk
pangan dinyatakan dalam skala 0 sampai 1. Nilai 0 berarti dalam makanan
tersebut tidak terdapat air bebas, sedangkan nilai 1 menunjukkan bahwa bahan
pangan tersebut hanya terdiri dari air murni. Kapang, khamir, dan bakteri ternyata
memerlukan nilai Aw yang paling tinggi untuk pertumbuhannya. Niai Aw terendah
dimana bakteri dapat hidup adalah 0,86. Bakteri-bakteri yang bersifat halofilik
atau dapat tumbuh pada kadar garam tinggi dapat hidup pada nilai Aw yang lebih
rendah yaitu 0,75. Sebagian besar makanan segar mempunyai nilai Aw = 0,99. Pada
produk pangan tertentu supaya lebih awet biasa dilakukan penurunan nilai Aw.
Cara menurunkan nilai Aw antara lain dengan menambahkan suatu senyawa yang
dapat mengikat air ( Ahmadi & Estiasih,2009).
Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan
terhadap serangan mikroba yang dinyatakan Aw yaitu jumlah air bebas yang dapat
digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme
mempunyai Aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri Aw : 0,90
; khamir Aw : 0,80-0,90 ; kapang Aw : 0,60-0,70. Untuk memperpanjang daya tahan
suatu bahan, sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan beberapa cara
tergantung dari jenis bahan. Umumnya dilakukan pengeringan, baik dengan
penjemuran atau dengan alat pengering buatan (Winarno,1992).
Semua bahan makanan mengandung air
dalam jumlah yang berbeda-beda, baik itu bahan makanan hewani maupun nabati.
Air berperan sebagai pembawa zat-zat makanan dan sisa-sisa metabolisme, sebagai
media reaksi yang menstabilkan pembentukan boiopolimer, dan sebagainya.
Bahan pangan kita baik yang berupa buah, sayuran,
daging, maupun susu, telah banyak berjasa dalam memenuhi kebutuhan air manusia.
Buah mentah yang menjadi matang selalu bertambah kandungan airnya, misalnya
calon buah apel yang hanya mengandung 10% air akan dapat menghasilkan buah
apel yang kadar airnya 80%, nenas mempunyai kadar air 87% dan tomat 95%.
Buah yang paling banyak kandungan airnya adalah semangka dengan kadar air 97%.
Kandungan air dalam bahan makanan
ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan itu.
Selain merupakan bagian dari suatu bahan makanan, air merupakan pencuci yang
baik bagi bahan makanan tersebut atau alat-alat yang akan digunakan dalam
pengolahannya. Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan makanan terjadi
dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri.
Bila badan manusia hidup dianalisis komposisi
kimianya, maka akan diketahui bahwa kandungan airnya rata-rata 65% atau sekitar
47 liter per orang dewasa. Setiap hari sekitar 2,5 liter harus diganti dengan
air yang baru. Diperkirakan dari sejumlah air yang harus diganti tersebut 1,5
liter berasal dari air minum dan sekitar 1,0 liter berasal dari bahan makanan
yang dikomsumsi. Dalam keadaan kesulitan bahan pangan dan air, manusia mungkin
dapat tahan hidup tanpa makanan selama lebih dari 2 bulan, tetapi tanpa minum
akan meninggal dunia dalam waktu kurang dari satu minggu, Yang terdapat pada
bahan pangan berbeda-beda. Untuk menentukan kadar air pada bahan pangan
tersebut, harus dilakukan dengan uji analisa kandungan air yang dilakukan
dengan suatu metode tertentu. Bentuk fisik bahan pangan tidak dapat
dijadikan patokan untuk menentukan kandungan air bahan.
Pada tabel berikut ini dapat dilihat
kandungan air beberapa jenis bahan pangan:
Tabel 1.1
KA (%)
|
Jenis Bahan Pangan
|
KA (%)
|
94
|
Ikan Kering
|
38
|
93
|
Daging Sapi
|
66
|
92
|
Roti
|
36
|
85
|
Buah kering
|
28
|
90
|
Susu Bubuk
|
4
|
88
|
Tepung Terigu
|
12
|
Source: F.G. Winarno (1977)
Tabel 1.2. Kandungan
Air Beberapa Komoditi
Bahan
|
Kandungan air
|
Bahan
|
Kandungan air
|
Tomat
|
94%
|
Ikan teri kering**
|
38%
|
Semangka
|
93%
|
Daging sapi
|
66%
|
Kol
|
92%
|
Roti
|
36%
|
Nenas**
|
85%
|
Buah kering
|
28%
|
Kacang hijau
|
90%
|
Susu bubuk **
|
14%
|
Susu sapi **
|
88%
|
Tepung terigu **
|
12%
|
*Hartley, 1970; ** Poerwosoedarmo, 1977
Seperti yang bisa dilihat dari tabel
(table) diatas, jika dilihat dari bentuk fisik, seharusnya kadar air nenas
harusnya lebih tinggi dari kol, namun pada kenyataanya, kadar air Kol lebih
tinggi dari nenas bahkan dari susu sapi yang bentuk fisiknya adalah cair.
Karena itu untuk mengetahui kandungan air suatu bahan perlu dilakukan suatu
analisa yang nantinya bukan hanya menentukan jumlah kandungan air tetapi juga
berfungsi untuk mengetahui tipe air dari bahan pangan tersebut.
C. Penentuan
Kadar Air dalam Bahan Makanan
Penentuan kandungan air dapat dilakukan dengan beberapa cara. Hal ini
tergantung pada sifat bahannya. Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan
dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105-110ºC selama 3 jam atau
sampai didapat berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah
pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Untuk bahan-bahan yang tidak
tahan panas, dilakukan pemanasan dalam oven vakum dengan suhu yang lebih
rendah. Seperti bahan bekadar gula tinggi, minyak daging, kecap, dan lain-lain.
kadang-kadang pengeringan dilakukan tanpa pemanasan, bahan dimasukkan dalam
eksikator dengan H2SO4 pekat sebagai pengering, sehingga mencapai berat yang
konstan. Untuk bahan dengan kadar gula tinggi, kadar airnya dapat diukur dengan
menggunakan refraktometer disamping menentukan padatan terlarutnya pula.
Dalam hal ini, air dan gula dianggap sebagai komponen-komponen yang
mempengaruhi indeks refraksi. Disamping cara-cara fisik, ada pula cara-cara
kimia untuk menentukan kadar air. Mc Neil mengukur kadar air berdasarkan volume
gas asetilen yang dihasilkan dari reaksi kalsium karbida dengan bahan yang akan
diperiksa. cara ini dipergunakan untuk bahan-bahan seperti sabun, tepung,
kulit, bubuk biji panili, mentega, dan sari buah. Karl Fischer pada tahun 1935
menggunakan cara pengeringan berdasarkan reaksi kimia air dari titrasi langsung
dari bahan basah dengan larutan iodine, sulfur, dioksida, dan piridina dalam
methanol. Perubahan warna menunjukkan titik akhir titrasi (Winarno.1992).
Kadar air dalam bahan makanan dapat
ditentukan dengan beragai cara antara lain :
1. Metode pengeringan
2. Metode destilasi
3. Metode kimiawi
4. Metode fisis
1. Penentuan
Kadar Air Cara Pengeringan
Prinsipnya menguapkan air yang ada
dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat
konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini relatif mudah dan
murah.
Kelemahan cara ini adalah :
a. Bahan lain
disamping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air misalnya
alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain.
b. Dapat
terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap.
Contoh gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi.
c. Bahan yang
dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan.
Untuk
mempercepat penguapan air serta menghindari terjadinya reaksi yang menyebabkan
terbentuknya air ataupun reaksi yang lain karena pemanasan. Maka dapat
dilakukan dengan suhu rendah dan tekanan vakum. Dengan demikian akan diperoleh
hasil yang lebih mencerminkan kadar air yang sebenarnya (Sudarmadji.2003).
2. Penentuan
Kadar Air Cara Destilasi
Prinsip penentuan kadar air dengan destilasi adalah menguapkan air dengan
“pembawa” cairan kimia yang mempunyai titik didih lebih tinggi dari pada air dan
tidak dapat bercampur dengan air serta mempunyai berat jenis lebih rendah dari
pada air. Zat kimia yang dapat digunakan antara lain : toluen, xylen, benzen,
tetrakhlorethilen dan xylol. Cara penentuannya adalah dengan memberikan zat
kimia sebanyak 75-100 ml pada sampel yang diberikan mengandung air sebanyak 2-5
ml kemudian dipanaskan sampai mendidih. Uap air dan zat kimia tersebut
diembunkan dan ditampung dalam tabung penampung. Karena berat jenis air lebih
besar daripada zat kimia tersebut maka air akan berada dibagian bawah pada
tabung penampung. Bila pada tabung penampung dilengkapi skala maka banyaknya
dapat diketahui. Cara destilasi ini baik untuk menentukan kadar air dalam zat
yang kandungan airnya kecil yang sulit ditentukan dengan cara gravimetri.
Penetuan kadar air ini hanya memerlukan waktu ± 1 jam (Sudarmadji,2003).
3. Metode
Kimiawi
Ada beberapa cara penentuan kadar air dalam bahan
secara kimiawi yaitu antara lain :
a. Cara Titrasi
Karl Fischer (1935)
Cara ini adalah dengan menitrasi
sampel dengan larutan iodine dalam metanol. Reagen lain yang digunakan dalam
titrasi ini adalah sulfur dioksida dan piridin. Metanol dan piridin digunakan
untuk melarutkan yodin dan dan sulfur dioksida agar reaksi dengan air menjadi
lebih baik. Selain itu piridin dan methanol akan mengikat asam sulfat yang
terbentuk sehingga akhir titrasi dapat lebih jelas dan tepat. Selama masih ada
air dalam bahan, iodin akan bereaksi tetapi begitu air habis, maka iodin akan
bebas. Titrasi dihentikan pada saat timbul warna iodine bebas. Untuk
memperjelas pewarnaan maka dapat ditambahkan metilen biru dan akhir titrasi
akan memberikan warna hijau. I2 dengan mtilen biru akan berubah warnanya
menjadi hijau. Cara titrasi ini telah berhasil dipakai untuk penentuan kadar
air dalam alkohol, ester-ester, senyawa lipida, lilin, pati, tepung gula, madu,
dan bahan makanan yang dikeringkan. Cara ini banyak dipakai karena memberikan
harga yang tepat dan dikerjakan cepat. Tingkat ketelitiannya lebih kurang 0,5
mg dan dapat ditingkatkan lagi dengan sistem elektroda yaitu dapat mencapai 0,2
mg (Sudarmadji,2003).
b. Cara Kalsium
Karbid
Cara ini berdasarkan reaksi antara
kalsium karbid dan air menghasilkan gas asetilin. Cara ini sangat cepat dan
tidak memerlukan alat yang rumit. Jumlah asetilin yang terbentuk dapat diukur
dengan berbagai cara.
1) Menimbang
campuran bahan dan karbid sebelum dan sesudah reaksi ini selesai. Kehilangan
bobotnya merupakan berat asetilin.
2) Mengumpulkan
gas asetilin yang terbentuk dalam ruangan tertutup dan mengukur volumenya.
Dengan volume yang diperoleh
tersebut dapat diketahui banyaknya asetilin dan kemudian dapat diketahui kadar
air bahan.
1) Dengan
mengukur tekanan gas asetilin yang terbentuk jika reaksi dikerjakan dalam ruang
tertutup. Dengan mengetahui tekanan dan volme asetilin dapat diketahui
banyaknya dan kemudian dapat diketahui kadar air baha
2) Dengan
menangkap gas asetilin dengan larutan tembaga sehingga dihasilkan tembaga
asetilin yang dapat ditentukan secara gravimetri atau volumetri atau secara
kolorimetri. Ketelitiannya tergantung pada pencampuran atau interaksi karbid
dengan bahan. Penentuan kadar air cara ini dapat dikerjakan sangat singkat
yaitu sekitar 10 menit (Sudarmadji,2003).
c. Cara Asetil
Khlorida
Penentuan kadar air cara ini
berdasarkan reaksi asetil khlorida dan air menghasilkan asam yang dapat
dititrasi menggunakan basa. Asetil khlorida yang digunakan dilarutkan dalam
toluol dan bahan didispersikan dalam piridin.
4. Metode Fisis
Ada beberapa cara penentuan kadar
air cara secara fisis ini antara lain:
a. Berdasarkan
tetapan dieletrikum
b. Berdasarkan
konduktivitas listrik (daya hantar listrik) atau resistensi
c. Berdasarkan
resonansi nuklir magnetic (NMR = Nuclear Magneti resonance)
(Sudarmadji,2003).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kadar air
adalah perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan.
2.
Aktivitas
air (aw) adalah perbandingan antara tekanan uap larutan dengan tekanan uap air
solven murni pada temperatur yang sama ( aw = p/po ).
3. Kadar air kesetimbangan adalah kadar
air dari suatu produk pangan pada kondisi lingkungan tertentu dalam periode
waktu yang lama (Brooker et al., 1992).
4.
Penentuan
kandungan air dapat dilakukan dengan beberapa cara. Hal ini tergantung pada
sifat bahannya. Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan
bahan dalam oven, oven vakum, refractometer, reaksi kimia air dari titrasi langsung
dari bahan basah.
6. Bila kadar air tinggi dan Aw rendah
maka air terikat akan meningkat dan mikroba menurun sehingga memperpanjang umur
simpan ditambah dengan penyimpanan yang tepat.
B. Saran
Dalam rangka meningkatkan industri
pangan di Indonesia hendaklah pemerintah memperhatikan industri pangan
khususnya home industry dalam kualitas pangan yang dihasilkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Estiasih, T. dan Ahmadi, K. (2009). Teknologi
Pengolahan Pangan. Jakarta:
PT. Bumi Aksara.
Purnomo, H. 1995. Aktivitas
Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta. http://repository.ipb.ac.id. Diakses tanggal 16 November 2013
Sudarmadji, S. 2003. Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi UGM.
Yogyakarta.http://risnafranisa.blogspot.com/.../air-dalam-bahan-pangan. Diakses tanggal 16
November 2013
Winarno Surachmad. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah.
Bandung; Tarsito
Winarno, F.G. (1992). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.http://www.goodreads.com/book/show/6044215-kimia-pangan-dan-gizi. Diakses
tanggal 16 November 2013
Wulanriky. 2011. Penetapan Kadar Air dengan Metode
Oven Pengering.
http://wulanrikiy.wordpress.com/Penetapan-Kadar-Air-Metode-Oven-Pengering-aa/.
Diakses tanggal 16 November 2013.
terima kasih sekali. Makalah ini sangat bermanfaat
BalasHapus